21st May 2014
SAYA terbangun oleh koak-koak burung gagak di luar jendela kamar. Mata masih berat karena baru beberapa jam lalu mendarat di tanah Kerala – India, tepatnya di Thiruvananthapuram (alias Trivandrum).
Ini adalah hari pertama kegiatan Kerala Blog Express, maka saya pun harus bangun dan bersiap. Dari teras kamar saya bisa melihat burung-burung gagak yang berterbangan. Nun di ketinggian langit tampak elang berputar-putar. Pucuk-pucuk pohon kelapa membatasi horizon. Sayup-sayup terdengar alunan musik tradisional ala India.
Welcome to Kerala!
Kovalam, terletak di pesisir laut Arabia, sekitar 16 km selatan Trivandrum. Hotel yang saya tempati, Uday Samudra kebetulan terletak di Kovalam dengan pantainya yang mengingatkan saya akan pesisir Anyer, Banten.
Kesan pertama saya akan Kerala datang dari suguhan pagi di kamar Uday Samudra: satu wadah buah-buahan lokal (pisang, jeruk, apel, delima) dan satu eksemplar surat kabar pagi (The Times of India). Sejenis pisang Lampung yang saya makan ini mungkin takkan saya temui di hotel-hotel mewah Indonesia, namun tampaknya buah-buahan lokal di Kerala mendapat status istimewa. Koran yang saya baca tengah memuat indeks bulanan selebriti Bollywood (Salman Khan sedang berada di posisi puncak). Tak ubahnya harga saham yang fluktuatif, ketenaran sang artis sedikit banyak terpengaruh dari indeks ini.
Poovar, sekitar 12 km selatan Kovalam. Konon Raja Solomon (Sulaiman) pernah mendarat di pesisirnya ribuan tahun silam. Pesisir Poovar yang kami susuri letaknya sejajar dengan kanal sungai, dan dipenuhi oleh banyak hidupan liar seperti burung gagak, elang, bangau, king fisher, dan lainnya. Satu catatan penting, mereka dapat hidup bebas tanpa takut diburu.
Kami berperahu menyusuri sungai menuju Poovar Island Resort untuk bertemu dengan para peserta Kerala Blog Express lainnya. Kami ber-27 blogger berasal dari 13 negara di seluruh dunia, terpilih oleh Kerala Tourism untuk berwisata menjelajahi Kerala selama sekitar 2 minggu ke depan. Rasa antusias kami membuncah dalam perkenalan dan percakapan dalam beberapa bahasa.
Chowara, sekitar 8 km selatan Kovalam. Kedatangan kami di Somatheeram disambut dengan bindi, kalungan bunga, dan kelapa muda (kelak kami akan menjumpai kelapa muda-kelapa muda lainnya dalam kunjungan ke setiap hotel/resort). Somatheeram terletak di ketinggian tebing di tepi pantai, sekilas mengingatkan saya akan Uluwatu, Bali. Sebagai resort yang mengandalkan spa & ayurveda, tentu saja kami juga mendapat kuliah singkat mengenai ayurveda (salah satu pengobatan herbal klasik India).
Agenda hari pertama berakhir di The Leela Kempinski, Kovalam. Keunggulan hotel ini adalah lokasinya yang berada tepat di atas tebing. Dari ketinggian The Leela inilah saya bisa melihat salah satu keunikan pesisir Kovalam dari jauh, yaitu 3 buah pantai berbentuk sabit yang sambung menyambung. Semua menghadap ke barat, sangat ideal untuk bersantai di sore hari sembari menyaksikan matahari terbenam.
Keunikan pantai di sepanjang pesisir Kovalam, Chowara, hingga Poovar adalah warna pasirnya yang jingga kecoklatan. Mungkin inilah yang disebut ‘golden sand’ dan merupakan salah satu andalan wisata pantai di Kerala.
India adalah negeri dengan banyak dongeng dan legenda. India adalah juga pengonsumsi emas dunia sebanyak 30% (menurut World Gold Council), dan Kerala adalah pengonsumsi emas India sebanyak 20%.
Kuil Sree Padmanabhaswamy di kota Trivandrum adalah perpaduan legenda dan harta karun. Salah satu kuil agung tertua di India yang ditujukan kepada dewa Wisnu ini dipercaya sebagai kuil termakmur di dunia dengan simpanan emas berlian senilai milyaran dollar Amerika (sumber berita: Wikipedia).
Sayangnya kami (kecuali umat Hindu) tak diperkenankan masuk ke dalam kuil yang didirikan ratusan tahun lalu tsb, bahkan untuk berjalan mengelilingi kompleknya pun dilarang untuk mengambil gambar. Padahal menurut referensi terdapat sekitar 500 pilar di dalam kuil yang penuh ukiran dan lukisan dinding yang menakjubkan. Selain itu saya penasaran dengan keberadaan pintu baja rahasia yang konon hanya bisa dibuka dengan pengucapan mantra Garuda yang harus dilafalkan dengan frekuensi tertentu (sekilas mengingatkan saya pada pintu Moria dalam trilogi The Lord Of The Rings). Tampaknya sesuatu di balik pintu baja tersebut akan menjadi rahasia abadi (ataupun jika berhasil dibuka, maka sesuatu di balik sana selamanya akan tetap dirahasiakan).
Jadi kami hanya berkeliaran di luar komplek kuil saja, mengamati hilir mudik jemaat yang hendak beribadat. Saya bahkan mendapati seorang sadhu (orang suci umat Hindu) tengah mempersiapkan diri. Namun bagai mempunyai mata ketiga ia selalu menoleh ke arah saya tiap kali tombol shutter kamera hendak ditekan (padahal jarak kami berjauhan). Akhirnya saya menyerah, dan membiarkan sang sadhu menjalani ritualnya sendiri.
Museum Napier, bisa dibilang sebagai salah satu landmark kota Trivandrum. Bangunan bernuansa merah bata ini sungguh unik karena mengadopsi gaya gothic dan minaret. Koleksinya beragam mulai dari artefak dan ornamen kuno, jejak arkeologi, hingga koleksi wayang kulit Jawa, topeng barong, dan sistem penanggalan Bali. Sayangnya, lagi-lagi terdapat larangan mengabadikan gambar di dalam museum ini.
Tak ada legenda khusus yang berkaitan dengan museum Napier, namun melihat interior bangunan yang memadukan budaya India, Inggris, hingga Cina, saya beranggapan jika pendiri museum ini (pemerintah Madras pada 1855) menyimbolkan semangat persatuan dalam keberagaman.
Usai jamuan makan siang di Mascot Hotel yang letaknya strategis di pusat kota Trivandrum, kami pun beranjak ke istana Padmanabhapuram di negara bagian Tamil Nadu. Dahulu wilayah sekitar istana Padmanabhapuram ini memang termasuk dalam kekuasaan kerajaan Travancore (sebagian besar Kerala kini) dan menjadi ibukota pertama.
Kejayaan kerajaan Travancore bisa terlihat dari kemegahan komplek istana yang sepintas terlihat kecil dan biasa saja namun ternyata luas dan berliku-liku (kami disarankan untuk tetap dalam grup, karena selain itu bakal tersesat). Terdiri atas Kamar Raja, Istana Ratu, Gedung Pertunjukan, Bangunan Tengah, dan Istana Selatan. Hampir seluruh bangunannya terbuat dari kayu dan sama sekali tidak menggunakan paku melainkan panel kayu yang saling mengunci. Bahkan lantainya sendiri masih tetap terasa licin walaupun konon sudah 450 tahun tak pernah dicuci/dibersihkan. Lantai tsb berwarna gelap dan terbuat dari material khusus menggunakan putih telur dan kulit buah kelapa.
Saya memandangi pantulan kaki-kaki kami yang tak beralas. Selaput debu tipis terasa di telapak kaki, namun harus diakui lantai ini masih terasa licin setelah berabad-abad terinjak oleh ribuan kaki. Mungkin disinilah letak legendanya, berupa resonansi jejak segala zaman.