4th May 2014
Namaskaaram!
Tiga purnama terakhir ini bisa dibilang semesta saya tengah berkelana seputar Kerala, sebuah negara bagian di selatan Republik India. Bayangan saya sebelumnya tentang India yang rustic & chaotic (which I desire more) ternyata tidak sepenuhnya terwujud.
Kerala lebih mirip negara tersendiri: beriklim tropis, bertanah subur, berlimpah air, berpenduduk ramah, berpemandangan elok. Tak heran Kerala punya julukanGod’s Own Country, negeri kepunyaan dewa.
33 juta penduduk Kerala berbicara bahasa Malayalam, dengan huruf yang mirip dengan aksara Jawa. Pengucapan beberapa kosakata Malayalam membutuhkan keahlian khusus (lidah ditarik ke atas rongga mulut bagai mengucap huruf ‘T’ ala Bali). Kecepatan bicara mereka di atas rata-rata. Jadi jangan bayangkan mereka berbahasa Inggris dalam logat Malayalam. Jangan.
But I love these Malayali, they’re very nice & sweet.
Pohon kelapa mendominasi hampir seluruh wilayah Kerala bagai pohon kelapa sawit menjajah tanah Indonesia. Konon, nama Kerala sendiri diambil dari kata ‘kera’ (bukan kera yang doyan pisang, tapi ‘kera’ yang huruf ‘e’-nya dibaca seperti pada kata ‘beda’). ‘Kera’ dalam bahasa Malayalam berarti ‘pohon kelapa’.
Tak heran kapanpun dimanapun kau pasti akan disuguhi kelapa, biasanya kelapa muda utuh dengan batoknya. Jangan lupakan pula aneka olahan kelapa macam kari, puding, dan es krim (untungnya yang terakhir saya doyan).
Pesisir Kerala menghadap laut Arabia dengan pasir bersemu jingga. Posisinya paling ideal menyaksikan surya tenggelam. Sepanjang pantai dapat ditemui sekumpulan nelayan tengah menarik jaring dari tengah laut. Jaring ini punya tali yang panjangnya mungkin bisa mencapai ratusan meter. Selain itu ada pula jaring nelayan ala Cina yang kerap menjadi pemandangan khas dan wisata andalan Kerala. Teknik jaring nelayan ini konon dibawa oleh penjelajah Cina, Zheng He (alias Cheng Ho), ratusan tahun silam ke India.
Tiada padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia untuk istilah backwater alias ‘air yang dibendung’. Kondisi sungai yang sejajar dengan permukaan laut menyebabkan arus stabil sehingga terciptalah muara dan danau-danau besar di hampir sepanjang pesisir Kerala. Rumah-perahu tradisional (kettuvallam) menjadi ikon wisata backwater ini, selain lomba perahu naga yang diadakan setahun sekali.
Ayurveda adalah tradisi ribuan tahun berupa terapi pemeliharaan kesehatan dan pengobatan. Salah satu metodenya hampir mirip dengan pijat tradisional ala Jawa/Bali dengan menggunakan ramuan herbal. Selain itu Kerala terkenal akan khasiat pengobatannya sehingga tak heran terdapat banyak toko obat di sepanjang jalan.
Beruntung bisa menyaksikan seni pertunjukan tradisional seperti kathakali, thullal, theyyam (ketiganya punya ciri khas berupa riasan wajah yang rumit dan penuh warna), hingga seni bela diri klasik kalaripayattu (dipercaya sebagai ilmu bela diri tertua). Tapi di antara semuanya, saya paling suka theyyam karena pertunjukan ini melibatkan gerak dinamis, api berkobar, dan teriakan sang penari yang mungkin setengah kerasukan.
Cagar alam & suaka margasatwa paling banyak ditemui di dataran tinggi Western Ghats, yang bisa dibilang mengisolasi Kerala dengan negara bagian tetangga. Populasi gajah dan harimau liar berpusat di sini. Belum pernah saya melihat penampakan gajah liar sebanyak dan sedekat ini. Sayang, saya tidak melihat penampakan harimau kecuali jejaknya (atau seharusnya saya bersyukur karena apa jadinya jika bertemu harimau liar lapar sungguhan di tengah trekking).
Kerala adalah pengonsumsi daging sapi terbesar di India. Itulah kenapa cita-cita saya melihat sapi melenggang kangkung sepanjang jalan pupus sudah. Nyaris tiada sapi berkeliaran di sini, mungkin sebagian besar sudah berpindah ke meja prasmanan. Hidangan khas Kerala adalah beef fry (semacam rendang kering), namun sayangnya saya malah tak berkesempatan mencicipinya.
Ini bukan nama bocah comel macam Upin & Ipin, tapi nama sejenis kain tradisional yang banyak dikenakan di Kerala (atau India selatan lainnya). Mundu adalah sehelai kain tak berjahit, sementara lungi tak ubahnya kain sarung berjahit, dimana pemakaian keduanya sama-sama dililitkan di pinggang. Masih banyak penduduk Kerala yang mengenakan mundu/lungi ini dalam kegiatan sehari-hari.
Ini juga bukan nama tokoh kartun, melainkan lambang partai komunis yang kebetulan punya pengaruh kuat di Kerala. Menjelang pemilu kemarin, lambang palu arit bertebaran dimana-mana. Tapi jangan bayangkan komunis di sini seperti doktrin orba. Kerala termasuk salah satu negara bagian termakmur di India, dengan mayoritas penduduk berada di kelas menengah, tingkat harapan hidup tertinggi, dan kemampuan baca tulis yang mendekati 100%. Tampaknya inilah fakta Kerala yang paling menarik.
Simak tulisan teman saya, Delia, tentang partai komunis di Kerala. Click here.
Lalu apa lagi fakta Kerala lainnya?
Masih ada kisah-kisah lain yang kan menyusul. Sabar menanti, kawan!
Disgiovery yours!