14th July 2014
“APAKAH ia buronan? Pembunuh berantai?”
Kami terpana menatap wajah perempuan separuh baya itu. Matanya sebelah menyipit dan sebelah terbelalak dengan raut muka angker. Bibirnya mengerucut tipis, seakan siap melontarkan sumpah serapah. Ia bagaikan perempuan penuh kemarahan, mungkin dikhianati lelaki, mungkin dicampakkan keluarga, mungkin sakitnya tak kunjung sembuh hingga ia murka pada dewa-dewa, entahlah.
***
Kami sedang berada di sebuah desa antah berantah di Chowara, sekitar 24 km selatan Thiruvanthapuram (ibukota negara bagian Kerala), India. Saya, Dina, Michi, dan Edin adalah anggota rombongan KBE (Kerala Blog Express) yang baru saja usai mengadakan lawatan ke Somatheram Resort di pesisir Chowara.
Bosan menanti mobil jemputan yang akan mengantar kami kembali ke bus KBE yang diparkir di jalan utama, Edin mengajak kami berjalan kaki saja sekalian melihat-lihat suasana desa dari dekat.
Dari 27 orang anggota rombongan, cuma kami berempat yang kelihatan niat blusukan. Saya dan Dina baru berkenalan beberapa hari sebelum keberangkatan ke India. Saya baru bertemu Edin tadi pagi di hotel. Saya baru mengenal Michi sejam sebelumnya di Somatheeram. Tapi tampaknya kami berempat akan menjadi sekawan yang asyik.
Kaki-kaki kami melangkah di jalan aspal yang sempit dan tak begitu mulus. Tampak pondok-pondok kecil sederhana dengan tembok berwarna mencolok (kuning, ungu, pink), pagar bambu dan kayu yang ditumbuhi belukar, deretan pohon pisang dan kelapa, beberapa ekor anjing kampung yang melenggang tak peduli.Koak-koak burung gagak. Kepulan asap dari sampah daun dan ranting yang dibakar. Udara yang panas dan lembab. Penduduk desa berkulit legam. Perempuan berkain sari dan lelaki berkain mundu (semacam sarung).
Kami berbagi bahasa universal yang sama: senyum.
Selain senyum, kami juga mempelajari bahasa khas: head wobble, alias goyang kepala. Tiap kali kami berpapasan atau melintasi penduduk lokal, mereka pasti menggoyangkan kepala. Ketika kami menyapa, mereka menggoyangkan kepala. Ketika kami meminta izin untuk mengambil gambar, mereka menggoyangkan kepala. Ketika kami bilang terima kasih, mereka menggoyangkan kepala. Walau tiada lisan terucap, namun selalu ada goyangan kepala. Jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’, cukup terwakili oleh goyangan kepala.
Sebenarnya cukup mudah mengartikannya, apalagi setelah kami beberapa kali mengambil foto mereka. Jika ekspresi mereka tetap ramah (biasanya ditambah senyum) artinya tak ada masalah. Jika ekspresi tampak terganggu (biasanya sambil mengangkat telapak tangan) tandanya mereka keberatan.
Sungguh bahasa yang praktis.
Tiba di jalan utama, bus KBE yang kami tuju malah tak tampak. Alih-alih cemas, kami malah lanjut blusukan menyusuri jalanan. Sesekali bus kuno merah, taksi Ambassador putih, truk berhias warna-warni tampak kencang melintas. Kepala-kepala penumpang dalam bus, wajah-wajah legam dalam truk atau taksi, semua menoleh. Mungkin bagi mereka sosok kami berempat sungguh menarik perhatian.
Dan kami balas perhatian mereka dengan senyum dan goyangan kepala.
Edin sendiri punya bahasa praktis ala Amerika (ia keturunan Hispanik yang tinggal di pantai topless Miami). Apalagi kalau bukan the F word yang disebutkan nyaris di setiap ucapan. Tapi kami paham itu cuma ekspresinya menyatakan kekaguman ataupun kekesalan. Tak ubahnya orang India dengan head wobble yang bisa berarti positif atau negatif sekaligus. Tak ubahnya orang Bandung dengan ‘anying‘-nya.
Beruntung kami berempat mempunyai kegilaan dan selera humor yang sama. Udara panas, jalan berdebu, tas ransel yang berat, tak menghalangi kami dari senda gurau dan gelak tawa.
Akhirnya bus kami pun ketemu. Ia parkir beberapa ratus meter lebih jauh dari terakhir kami turun. Dan belum ada anggota rombongan KBE yang tampak. Saya kira kami adalah peserta yang paling terlambat karena harus berjalan kaki, tapi nyatanya bus masih kosong melompong.
Dina lekas menghubungi seorang pendamping grup via pesan instan. Ternyata rombongan sedang mengunjungi resort lain setelah lawatan dari Somatheeram. Jadi seharusnya tadi kami belok kiri setelah keluar dari Somatheeram, namun kami berempat malah belok kanan kembali ke jalan utama.
Lalu bagaimana sekarang?
“Kita blusukan lagi, yok!” usul Dina dengan logat Suroboyoan yang kental.
Akur! Edin dan Michi pun senang-senang saja begitu kami ajak kembali menyusuri jalanan.
***
Kemudian berjumpalah kami dengan perempuan separuh baya yang terlihat maniak itu. Tak membahayakan, karena ia cuma penampakan foto setengah badan dalam selebaran yang ditempel di tembok pinggir jalan. Tapi ekspresi wajahnya sungguh menyita perhatian sehingga kami menghentikan langkah dan mengamatinya dengan saksama.
“Mungkin ia cuma orang pikun yang belum pulang. Atau poster ini cuma obituarium.”
Kami hanya bisa menduga karena tak kuasa membaca aksara Malayalam (bahasa resmi Kerala) yang tertera di poster. Berdiri berjajar di tepi jalan, masing-masing kami membidikkan kamera ke arah poster si perempuan paruh baya.
Kami perhatikan ada banyak selebaran sejenis yang tertempel di pagar tembok atau dinding bangunan di sepanjang jalan. Macam-macam wajah dan ekspresi terpampang di sana. Tapi cuma wajah si ibu seorang yang terpatri. Semoga beliau dalam kedamaian dimanapun berada.
***
Pada akhirnya, kami tetap menjadi yang terakhir kembali ke bus. Jadi tadi seusai Dina menghubungi pendamping grup, mereka langsung mempercepat kunjungan di resort dan membatalkan jamuan minum teh yang sudah disiapkan. Mereka tak ingin kami menunggu lama di bus, kelaparan dan kehausan. Namun apa daya begitu rombongan sampai di bus, kami berempat malah tak kelihatan batang hidungnya.
Kami muncul setengah jam kemudian, dengan wajah ceria, kulit kemerahan, dan bau matahari. Dan mungkin disambut gerutuan beberapa orang. Tak apa, yang penting kami sudah menjalani hari pertama yang mengesankan dan tak membosankan.
Edin’s photos here
Michi’s story here
Kisah saya & Dina 24 jam sebelumnya di Singapura di sini
Disgiovery yours!