10th April 2014
Sebaris pria bertubuh liat tampak menarik seutas tali tambang keluar dari deburan ombak di pantai. Kulit mereka berwarna coklat tua terbakar sinar matahari, mata mereka menerawang jauh ke tengah lautan nan biru. Sarung lungi yang mereka kenakan diikatkan ke pinggang menyerupai rok pendek, agar mereka lebih leluasa bergerak dan tak jatuh terjerembab.
Matahari baru terbit.
Para pria itu masih terus menarik. Badan mereka condong ke belakang. Tatapan mereka masih menerawang. Terus, terus menarik. Bagaikan permainan tarik tambang yang dimainkan tanpa emosi. Tanpa lawan, tiada ujung. Di belakang mereka, gulungan tali yang tertarik mulai menumpuk tinggi. Namun tarik tambang tanpa lawan itu tak kunjung usai. Mereka terus menarik dan menarik. Entah berapa lama mereka telah menarik, dan sampai kapan kah mereka akan menarik.
Aku berjalan mendekat.
Dan saat itu aku tersadar, ternyata di kejauhan, ada satu baris lain yang melakukan hal serupa.
“Mereka adalah para nelayan. Para penjala ikan. Yang mereka tarik sebenarnya adalah sebuah jala raksasa. Dua kelompok pria yang berjauhan itu, yang masing-masingnya menarik keluar tali dari laut, mereka menarik satu jala ikan raksasa yang sama. Segitu lebarnya jalanya!”
Aku mengamati burung-burung yang sedang bermain ombak.
“Para nelayan ini menebar jala raksasanya semalam. Setelah matahari tenggelam. Jalanya mungkin puluhan meter lebarnya. Mereka membawanya ke tengah laut. Ratusan meter atau mungkin malah lebih satu kilometer jaraknya dari pantai. Ujung kanan kiri jala yang sangat lebar itu dihubungkan dengan tali ke pantai. Ditinggalkan semalaman. Dan paginya, para nelayan menarik jala tersebut dari pantai, beserta ikan-ikan yang ada. Ini bukan hanya untuk konsumsi pribadi, namun juga untuk dijual.”
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan. Sebuah perahu kayu menepi. Para pria berlompatan turun dan menarik perahu ke pantai.
Aku mengamati mereka sambil melamun. Kehidupan pelayan di pesisir Kollam, Kerala, India. Tampaknya perahunya berat.
Teriakan seorang pria membuyarkan lamunanku. “Heyyy… jangan cuma bengong, bantu dong! Berat nih!” Tentu saja ini diucapkan dalam bahasa setempat. Bahasa Malayalam mungkin. Tentu saja sesungguhnya aku tak mengerti apa yang ia ucapkan, aku hanya mengira-ngira saja. Beberapa pria melambaikan tangan.
Bisa mengamati kegiatan sehari-hari penduduk setempat saja sudah membahagiakan, apalagi menceburkan diri di dalamnya.
Aku berlari mendekat. Membantu mereka menarik kapal warna-warni itu ke atas pasir. Ahaha, sial! Berat sekali!
Aku pun berpikir… Lalu aku tersadar…
Sebagai pendatang, kadang kita terjebak untuk tak mengganggu rutinitas orang lokal. Tak mau menjadi turis pengganggu. Merasa mereka begitu eksotik dan merasa suasana terlalu indah untuk diinterupsi oleh kita, orang luar. Namun para nelayan ini mengajarkan satu hal berharga bagiku: Mereka bukan sekadar objek tontonan. Objek fotografi, objek yang eksotis. Mereka adalah manusia, dan demikian pula lah diriku. Tidak ada label turis dan orang lokal. Mereka hanyalah manusia. Manusia yang sedang melakukan pekerjaan yang berat. Dan sudah seyogyanya aku, juga manusia, menolong mereka. Keberadaanku di sana bukan cuma sebagai pengamat, bukan hanya penikmat. Namun sebagai manusia biasa. Manusia yang… yang sekedar berinteraksi dengan manusia biasa lainnya. Tidak ada label turis dan penduduk lokal. Kita semua hanyalah manusia.
Dan hatiku pun terasa menghangat, seperti hangatnya pasir di pantai itu.